Jumat, 01 Februari 2008

Ketika membincang hukum, pada umumnya kita akan melihat pada peraturan dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan. Padahal undang-undang selalu tidak sempurna, karena mustahil UU dapat menampung segala aktifitas manusia secara tuntas. Ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman (out of date). Padahal berdasarkan pasal 22 AB, dan pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 (pokok-pokok kekuasaan Kehakiman) seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih UU tidak sempurna atau tidak adanya aturan hukum. Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

Read More

....................

PENGANTAR

Hukum berfungsi sebagai kontrol dan pengendali sosial terejawantah dalam perannya sebagai pelindung kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia dapat terlindungi, maka hukum harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum ini, maka hukum akan menjadi nyata, bukan sekedar aturan yang berada di puncak menara gading, terlihat namun tak tersentuh.

Read more

.....................

Perkawinan beda agama adalah masalah klasik yang tak pernah berhenti menggelisahkan pikiran dan mengundang perdebatan banyak kalangan. Oleh karenanya, perkawinan beda agama tetap menjadi isu menarik yang menjadi bahan diskusi dan perdebatan di kalangan pemikir dan praktisi hukum. Sebagai salah satu lembaga pemegang otoritas fatwa, MUI telah mengeluarkan putusan fatwa mengenai pengharaman kawin beda agama melalui keputusan Nomor: 05/Kep/Munas II/MUI/ 1980 tanggal 1 Juni 1980 dan Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tanggal 28 Juli 2005.

read more

.............

02 - Penemuan dan Penafsiran Hukum

Mata Kuliah : PIH/PTHI

Program Studi : Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah

Dosen : MUFLIHA WIJAYATI, M.SI.

BAB III

Penemuan Dan Penafsiran Hukum

PENGANTAR

Hukum berfungsi sebagai kontrol dan pengendali sosial terejawantah dalam perannya sebagai pelindung kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia dapat terlindungi, maka hukum harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum ini, maka hukum akan menjadi nyata, bukan sekedar aturan yang berada di puncak menara gading, terlihat namun tak tersentuh.

Dalam upaya menegakkan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, ada 3 unsur yang harus diperhatikan; kepastian hukum (Rechtsscherheit), kemanfaatan, dan keadilan. Harus ada kompromi secara imbang dan proporsional antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam praktek tidak selalu mudah dalam mewujudkan keseimbangan antara ketiga unsur ini.

Ketika membincang hukum, pada umumnya kita akan melihat pada peraturan dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan. Padahal undang-undang selalu tidak sempurna, karena mustahil UU dapat menampung segala aktifitas manusia secara tuntas. Ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman (out of date). Padahal berdasarkan pasal 22 AB, dan pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 (pokok-pokok kekuasaan Kehakiman) seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih UU tidak sempurna atau tidak adanya aturan hukum. Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).

PENEMUAN HUKUM

Penemuan hukum lazim diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan bahasa lain penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi.

Aliran-aliran penemuan hukum

Legisme

Pada mulanya hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah hukum kebiasaan yang beraneka ragam dan kurang menjamin kepastian hukum. Realitas inilah yang mendorong lahirnya aliran legisme; sebuah aliran yang tidak mengakui hukum di luar Undang-Undang. Pandangan legisme berkembang dan berpengaruh sampai pertengahan abad ke-19. legisme berpendapat bahwa:

- Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang

- Di luar undang-undang tidak ada hukum

Dengan demikian penerapan hukum bersifat mekanis dan hakim sangat terikat dengan undang-undang. Kebiasaan hanya akan memiliki kekuatan hukum berdasarkan pengakuan undang-undang. Namun permasalahan-permasalahan hukum yang timbul kemudian yang tidak tertampung dalam Undang-Undang tidak dapat dipecahkan.

Mazhab historis (freirechtschule, freie rechtsbewegung)

Aliran ini bertolak belakang dengan aliran legisme. Lahirnya mazhab historis (1840) untuk pertama kalinya di Jerman adalah jawaban atas kekurangan dari mazhab legisme yang tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang tidak tertampung oleh undang-undang. Hakim dalam mazhab historis memiliki kebebasan penuh dalam menentukan/menciptakan hukum. Pemahaman terhadap yurisprudensi adalah primer, karena yurisprudensi lebih dekat dengan realitas hukum. Tegasnya, aliran ini berpandangan:

- Hakim adalah pencipta hukum (jugde made law).

- Keputusan hakim lebih dinamis dan up to date karena berdasarkan keadaan dan perkembangan masyarakat.

- Hukum hanya terbentuk oleh peradilan.

- Undang-undang dan kebiasaan merupakan sarana dalam menemukan hukum pada kasus-kasus kongkret.

- Mazhab freirechtschule/freie rechtsbewegung menitik-beratkan pada kegunaan sosial.

Mazhab Rechtvinding (penemuan hukum)

Aliran rechtvinding merupakan aliran di antara aliran ekstrem legisme dan freie rechtsbewegung. Artinya aliran ini tetap berpegang pada undang-undang tapi tidak seketat legisme karena masih memberikan ruang gerak pada hakim untuk menyelaraskan UU dengan tuntutan zaman. Kebebasan terikat ini tercermin pada kewenangan hakim dalam menafsirkan undang-undang dan mengkonstruksi hukum. Yurisprudensi dan kebiasaan juga mempunyai arti penting di samping undang-undang.

* Di Indonesia aliran yang berkembang adalah aliran rechtvinding sehingga dalam memutuskan perkara hakim berpegang teguh pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia berdasarkan pasal 20 AB (Hakim harus mengadili berdasarkan UU) dan pasal 22 AB (hakim tidak boleh menolak perkara dengan dalih UU tidak jelas atau tidak lengkap)

Teori penemuan hukum memiliki 2 metode; metode interpretasi (penafsiran) dan argumentasi. Metode penafsiran adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada, akan tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit. Adapun metode penemuan hukum argumentasi adalah metode penemuan hukum dalam hal tidak ada peraturannya secara khusus, namun hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan. Di sini terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan yang harus diisi atau dilengkapi.

Metode Penafsiran

Pengertian Penafsiran

- Dalam arti Subyektif dan Obyektif:

Penafsiran dalam pengertian subyektif adalah upaya penafsiran sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembuat UU. Adapun Penafsiran dengan pengertian obyektif adalah penafsiran yang lepas dari pendapat pembuat UU dan disesuaikan dengan adat bahasa sehari-hari.

- Berdasarkan sumber penafsiranya:

Pertama, penafsiran otentik yang diberikan oleh pembuat UU seperti yang dilampirkan pada UU sebagai penjelasan. Kedua, Penafsiran doktriner atau ilmiah, yang diperoleh dari buku-buku atau karya ilmiah para ahli hukum. Ketiga, penafsiran yang bersumber dari hakim (peradilan) yang hanya mengikat para pihak yang berperkara.

Macam-Macam Metode Penafsiran

Dalam literatur hukum lazimnya dibedakan beberapa metode penafsiran. Metode interpretasi yang dijelaskan berikut ini bukanlah metode yang diperintahkan untuk digunakan, tetapi lebih merupakan konklusi induktif dari putusan-putusan hakim.

a- Penafsiran gramatikal

Penafsiran gramatikal (taalkundig) adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata. Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum. Penafsiran UU itu pada dasarnya selalu merupakan penjelasan dari segi bahasa. Peraturan hukum hendaknya dirumuskan dengan singkat, jelas dan tidak mengandung pengertian beraneka ragam. Akan tetapi pembuat UU tidak selamanya dapat melakukannya. Dalam kondisi seperti ini seorang hakim wajib mencari arti kata sesuai dengan kelaziman penggunaan sehari-hari, menggunakan kamus, meminta keterangan dari ahli bahasa, atau dengan mengkaji sejarah penggunaan kata.

Misalnya: istilah 'menggelapkan' dari pasal 41 KUHP ada kalanya ditafsirkan dengan 'menghilangkan'.

b- Penafsiran historis

Tiap peraturan perundang-undangan memiliki sejarahnya sendiri, dari runtutan sejarah inilah seoranh hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya. Penafsiran hukum berdasarkan sejarahnya ada 2 macam; pertama, penafsiran menurut sejarah hukum (recht historische interpretatie) yang hendak memahami UU dalam konteks sejarah hukum secara luas. Misalnya: Peraturan dalam BW dipahami sesuai dengan sejarahnya yang merupakan warisan dari Belanda berdasarkan asas konkordansi (persamaan) dari Kitab Undang-Undang Hukum perdata Belanda yang merupakan tiruan dari Code Civil Perancis (1804). Sementara Code Civil Prancis dikodifikasikan dengan bersumber dari hukum Romawi dan juga hukum kebiasaan Prancis. Ketika seorang hakim hendak memahami sebuah aturan dalam BW dengan sedalam-dalamnya maka ia juga harus mempelajari dari beberapa sumber asalnya.

Kedua, penafsiran sejarah penetapan peraturan perundang-undangan adalah penafsiran hukum dengan menyelidiki maksud pembuat UU yang bisa dilacak dari dokumen-dokumen yang berisi tentang proses terjadinya suatu UU sejak dari rancangan hingga diundangkan. Penafsiran ini juga disebut dengan penafsiran subyektif. Misalnya: penafsiran terhadap pasal 2 (1) UU No 1 tahun 1974 mengenai syarat syahnya perkawinan, harus ditunjang dengan pemahaman sejarah polemik antara golongan nasionalis dan golongan Islam mengenai rancangan UU tersebut.

c- Penafsiran Sistematis

Terjadinya sebuah UU selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Setiap UU atau aturan adalah bagian dari suatu sistem hukum. Menafsirkan UU sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan UU lain disebut interpretasi sistematis. Misalnya: Seorang hakim hendak memahami sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus melihat pada UU no 1 1974 (pasal 42-44) , juga dalam KHI (pasal 99-103).

d- Penafsiran Sosiologis

Dalam penafsiran sosiologis suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial baru. Peraturan yang sudah usang tetapi masih berlaku diaktualisasikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masa kini. Artinya: penafsiran sosiologis adalah suatu penafsiran untuk memahami aturan hukum sehingga peraturan tersebut dapat diterapkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Urgensi dari penafsiran sosiologis adalah sewaktu UU itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain dengan waktu ketika UU diterapkan, karena hukum merupakan gejala sosial yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.

Penafsiran sosiologis bagi hakim di Indonesia sangat penting mengingat banyak UU yang dibuat pada masa penjajah, masih diberlakukan hingga sekarang berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 untuk mencegah kekosongan hukum. Misalnya: nominal denda dalam KUH Pidana harus disesuaikan dengan kondisi mutakhir.

e- Penafsiran otentik

Penafsiran otentik atau penafsiran resmi adalah penafsiran yang diberikan sendiri oleh pembuat UU atau instansi resmi yang ditunjuk oleh UU melalui penjelasan-penjelasan yang dilampirkan sebagai bagian yang tak terpisah dengan UU-nya. Penafsiran resmi ini sifatnya mengikat dan harus dibuat oleh pembuat UU itu sendiri.

Misalnya: kata 'dapat dibatalkan' dalam pasal 22 UU no 1 tahun 1974 mengenai batalnya perkawinan dalam penjelasannya diartikan bisa batal atau bisa juga tidak batal sesuai dengan ketentuan hukum agama masing-masing.

f- Penafsiran Perbandingan

Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara satu hukum dengan hukum lainnya dengan maksud mencari kejelasan mengenai suatu ketentuan UU. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional. Di luar perjanjian internasional kegunaan metode ini sangat terbatas.

Metode Argumentasi

Metode argumentasi adalah metode penemuan hukum ketika terjadi kekosongan atau ketidak-lengkapan peraturan. Untuk mengisi kekosongan hukum ini digunakanlah metode berfikir analogi, penyempitan hukum, dan a contrario.

- Argumentasi analogis

Penafsiran analogis adalah metode penemuan hukum dengan memberikan padanan pada suatu peristiwa yang memiliki kesamaan permasalahan. Tegasnya suatu peraturan menyebutkan satu kejadian, kemudian peraturan hukum itu dipergunakan oleh hakim terhadap peristiwa lain yang tidak disebut namun memiliki kesamaan anasir dengan kejadian yang diatur UU.

Contohnya: pasal 1676 BW mengenai transaksi jual beli yang tidak memutuskan sewa menyewa kecuali telah diperjanjikan. Peraturan BW hanya mencakup pada transaksi jual beli yang sifatnya khusus. Dalam proses analogi hibah memiliki kesamaan dengan jual beli karena ada proses peralihan kepemilikan. Maka pasal ini diterapkan terhadap setiap peralihan: hibah, waris, dan lain sebagainya.

Analogi digunakan ketika menghadapi pristiwa-peristiwa yang mirip dengan peristiwa yang diatur UU, juga apabila kepentingan masyarakat menuntut penilaian yang sama. Di dalam hukum pidana analogi jarang atau tidak digunakan.

- Penyempitan Hukum

Sebuah peraturan dalam UU biasanya bersifat sangat umum atau luas, maka perlu di persempit untuk diterapkan pada peristiwa tertentu yang sifatnya khusus. Dalam penyempitan hukum dilakukan pengecualian-pengecualian dari peraturan umum.

Contoh: Pasal 1365 BW tidak menjelaskan apakah kerugian harus ditanggung juga oleh pihak yang dirugikan karena dia turut bersalah? Yurisprudensi menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan, maka ia hanya berhak menuntut sebagian dari kerugian tersebut.

- A Contrario

Argumen a Contrario ialah suatu cara menafsirkan UU berdasarkan pada lawan pengertian dari persoalan yang diatur dalam UU.

Misal: Pasal 39 PP no 9 1975 mengenai masa tenggang bagi janda cerai untuk bisa menikah lagi. Dengan metode a contrario terhadap pasal 39 PP no. 9 1975 maka duda cerai yang ingin menikah lagi tidak harus menunggu masa tenggang.

01- Pengertian hukum

Mata Kuliah : PIH/PTHI

Program Studi : Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah

Dosen : MUFLIHA WIJAYATI, M.SI.

BAB II

Pengertian Hukum

a. Etimologis[1]

1- Hukum

Terma hukum yang kita kenal berasal dari bahasa Arab ‘hukmu’ (mufrad) – ‘ahkam’ (jama') yang diderivasikan dari kata kerja ‘hakama-yahkumu-hukm yang berarti al-qadha` bi al-'adl, yakni memutuskan perkara dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim, dan bentuk jamaknya adalah al-hukkam.

2- Recht

Recht berasal dari kata rectum (latin) yang berarti bimbingan, tuntutan, atau pemerintahan. Di samping itu dikenal juga terma ‘rex’ yaitu orang yang memberi bimbingan atau arahan. Rex juga bisa dimaknai Raja.

Terma recht yang bermakna bimbingan atau perintah selalu meniscayakan adanya kewibawaan, dan kewibawaan berkaitan dengan ketaatan. Artinya sebuah perintah atau arahan cenderung akan ditaati ketika memiliki kewibawaan. Dalam bahasa Belanda derivasi dari terma recht memiliki makna keadilan, artinya hukum juga memiliki kaitan dengan keadilan.

Dengan demikian Recht diartikan sebagai arahan atau perintah yang memiliki unsur kewibawaan dan keadilan.

3- Ius

Terma Ius berasal dari bahasa Latin ‘Iubere’ yang berarti mengatur atau memerintah. Mengatur dan memerintah berpangkal pada kewibawaan. Di sisi lain Ius berkaitan erat dengan ‘Iustitia’ atau keadilan. Dalam legenda Yunani Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan dengan seorang wanita yang tertutup matanya, tangan kiri memegang neraca dan tangan kanan memegang pedang. Makna dari lambang ini adalah:

- Kedua mata tertutup, dalam mencari keadilan tidak boleh membedakan antara si kaya dan si miskin, pejabat atau bukan pejabat, dan lain sebagainya.

- Neraca melambangkan keadilan.

- Pedang melambangkan keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum yang tegas.

4- Lex

Lex berasal dari bahasa Latin ‘lesere’ yang berarti mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Terma ini memuat adanya unsur otoritas atau wibawa.

ð Berdasarkan uraian di atas, maka hukum akan memuat unsur-unsur keadilan, kewibawaan, ketaatan, peraturan yang berujung pada keteraturan dan kedamaian.

b. Terminologi Para Sarjana Hukum.[2]

Mendefinisikan hukum dengan definisi yang dapat mewakili hukum yang sebenarnya dalam satu definisi adalah sangat sulit. Karena hukum merasuk dalam setiap lini kehidupan masyarakat, memiliki banyak bentuk (multifaces), dan sangat kompleks. Para Yuris pun menawarkan definisi dengan berbagai perspektif yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing Yuris.

-1- Prof. Dr. van Kan. (Juris dari Belanda)

Menurutnya hukum adalah "keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat".

-2- Prof. Mr. E. M. Meyers.

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya."

-3- Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldoorn. (Juris Belanda)

Ia membedakan pengertian hukum berdasarkan 2 sudut pandang:

- Hukum menurut kalangan terpelajar adalah rentetan pasal demi pasal yang termuat dalam aturan atau perundang-uandangan.

- Hukum menurut orang awam (the man in the street) ketika mendengar istilah hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa, pengadilan, hakim, dan aparat penegak hukum lainnya.

-4- Prof. Paul Scholten.

Sarjana hukum asal Belanda ini memandang hukum berdasarkan kepentingan individual (perorangan) dan sosial (masyarakat). Dia tidak memberikan tawaran definisi tunggal mengenai hukum, namun ia memberikan batasan bahwa, "Recht is bevel, Recht is verlof, Recht is belofte, Recht is depositie".

-5- Dr. E. Utrecht, SH.

Utrecht memberikan tawaran definisi hukum sekedar untuk pegangan dan memudahkan pemahaman bagi penjelajah hukum dan bukan sebagai definisi baku. "Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu."

-6- S. M. Amin, SH.

"Kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara."

-7- J. C. T. Simorangkir.

"Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi bereakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu."

* Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hukum terkandung unsur-unsur:

- Peraturan mengenai tingkah laku manusia

- Dibuat atau diciptakan oleh otoritas yang berwenang

- Bersifat memaksa agar ditaati

- Bertujuan mengatur tata tertib kehidupan

- Sanksi terhadap pelanggaran

Fungsi dan Tujuan Hukum (Teori Etis, Utilitis, dan Campuran)

à Fungsi Hukum[3]

Di mana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum ada pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun, dan bagaimanapun keadaan masyarakat tersebut. Artinya eksistensi hukum bersifat sangat universal, terlepas dari keadaan hukum itu sendiri sangat dipengaruhi oleh corak dan warna masyarakatnya (hukum juga memiliki sifat khas, tergantung dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas).

Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham mengenai fungsi dan peran hukum dalam masyarakat:

Pertama, mengatakan bahwa fungsi hukum adalah mengikuti dan mengabsahkan (justifikasi) perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, artinya hukum sebagai sarana pengendali sosial. Maka yang tampak, hukum bertugas mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Paham ini dipelopori ahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang diintrodusir oleh Friedrich Carl von Savigny (1799-1861).

Kedua, menyatakan hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham ini dipelopori oleh ahli hukum dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk kemudian dipopulerkan oleh Juris Amerika dengan konsepsi "hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat" (law as a tool of social engineering).

à Tujuan Hukum[4]

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi. Dalam beberapa literatur Ilmu Hukum para sarjana hukum telah merumuskan tujuan hukum dari berbagai sudut pandang, dan paling tidak ada 3 teori:

1- Teori etis

Teori etis pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya ethica dan Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan etis kita mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya hukum menurut teori ini bertujuan mewujudkan keadilan.

Mengenai isi keadilan, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan; justitia distributive (keadilan distributif) dan justitia commulative (keadilan komuliatif). Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang berdasarkan jasa atau haknya masing-masing. Makna keadilan bukanlah persamaan melainkan perbandingan secara proposional. Adapun keadilan kumulatif adalah keadilan yang diberikan kepada setiap orang berdasarkan kesamaan. Keadilan terwujud ketika setiap orang diperlakukan sama.

2- Teori Utilitis

Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham dalam bukunya "Introduction to the morals and legislation". Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan aspek keadilan.

3- Teori Campuran

Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur dan damai. Dan untuk mewujudkan kedamaian masyarakat maka harus diciptakan kondisi masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan satu dengan yang lain, dan setiap orang (sedapat mungkin) harus memperoleh apa yang menjadi haknya. Dengan demikian pendapat ini dikatakan sebagai jalan tengah antara teori etis dan utilitis.

Sumber-Sumber Hukum[5]

A. Arti tentang Sumber Hukum

Terma sumber hukum dalam kajian ilmu hukum sering kali dipergunakan dalam berbagai pengertian. Oleh karena itu, ketika membincang persoalan sumber hukum maka harus ditegaskan terlebih dahulu dalam kerangka apa sumber hukum itu kita bincangkan.

1- Sumber hukum dalam pengertian asal hukum, yaitu: Keputusan otoritas yang berwenang mengenai sebuah keputusan hukum, bisa berupa peraturan atau ketetapan. Pengertian ini membawa pada suatu penyelidikan tentang kewenangan.

2- Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukannya peraturan hukum. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa pada satu penyelidikan tentang maca, jenis, atau bentuk-bentuk dari peraturan. Misalnya: apakah sumber hukum tersebut Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau bentuk yang lainnya.

3- Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya: Keyakinan hukum, rasa keadilan baik dari penguasa atau rakyat, dan juga teori-teori atau ajaran dari ilmu Pengetahuan hukum. Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan hukum meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya, maupun ekonomi.

Di samping ketiga makna sumber hukum di atas, terdapat juga kategori sumber hukum lain, yakni;

1- sumber hukum material adalah faktor yang membantu penentuan/pembentukan hukum. Sumber hukum ini dapat ditinjau dari berbagai aspek.

Misalnya: seorang sosiolog akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa sebagai hasil interaksi dalam masyarakat. Namun seorang ekonom akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat meniscayakan adanya hukum. Lain halnya dengan seorang ahli agama, ia akan mengatakan bahwa sumber hukum adalah kitab suci dan sumber ajaran agama yang lain.

2- Sumber hukum formal adalah tempat atau sumber di mana hukum positif dapat ditemukan. Dari segi bentuk berupa Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, dan doktrin.

a. Undang-Undang

"Undang-Undang" sering digunakan dalam 2 pengertian, yaitu Undang-Undang dalam arti formal dan Undang-Undang dalam arti material.

UU dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari bentuk dan cara pembuatannya disebut UU. Dilihat dari bentuknya, UU berisi konsideran dan diktum (amar putusan). Sementara dari cara pembuatannya, UU adalah keputusan atau ketetapan produk lembaga yang berwenang. Di Indonesia lembaga yang berwenang adalah Presiden dan DPR (UUDS 1950 psl 89, UUD 1945 psl 5 (1) jo. psl 20 (1), sementara di Amerika lembaga yang berwenang adalah Congress.

UU dalam arti material adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat setiap orang secara umum. Dalam pengertian ini yang menjadi perhatian adalah isi peraturan yang sifatnya mengikat tanpa mempersoalkan segi bentuk atau siapa pembentuknya. UU dalam arti material sering juga disebut dengan peraturan (regeling) dalam arti luas.

=> UU dalam arti formal tidak dengan sendirinya sebagai UU dalam arti material. Demikian sebaliknya.

Syarat mutlak berlakunya suatu Undang-Undang ialah ketika telah diundangkan dalam lembaran negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris negara, sejak tanggal yang ditentukan sendiri dalam Undang-Undang (pada saat diundangkan, pada tanggal tertentu, ditentukan berlaku surut, atau berlakunya akan ditentukan kemudian hari dengan peraturan lain), atau jika tidak dicantumkan maka, Undang-Undang berlaku 30 hari setelah diundangkan.

Adapun masa berlakunya Undang-undang berakhir, karena; ditentukan oleh Undang-Undang sendiri, dicabut secara tegas, Undang-Undang lama bertentangan dengan Undang-Undang baru, atau timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan Undang-Undang atau Undang-Undang tidak ditaati lagi.

Asas berlakunya suatu Undang-Undang:

* Undang-Undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superior derogat legi in feriori).

* Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, apabila Undang-undang tersebut kedudukannya sama. (lex speciales derogat legi generali).

* Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang terdahulu, sejauh Undang-Undang tersebut mengatur hal yang sama (lex posterior derogat legi priori).

* Undang-Undang yang telah diundangkan dianggap telah diketahui oleh setiap orang.

Hierarki perundang-undangan

Undang-Undang dalam arti material memiliki tata urutan peraturan sesuai dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. No. V/MPR/1973 :

- UUD 1945

- Ketetapan MPR

- UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

- Peraturan Pemerintah

- Keputusan Presiden

- Peraturan Pelaksana lainnya, seperti peraturan menteri atau instruksi menteri.

b. Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, dan normal di dalam suatu masyarakat atau komunitas hidup tertentu.

Sebagai sebuah prilaku yang tetap (ajeg) kebiasaan merupakan prilaku yang selalu berulang hingga melahirkan satu keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu patut dilakukan dan memiliki kekuatan normatif yang mengikat.

Tidak semua kebiasaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan yang dapat menjadi sumber hukum meniscayakan beberapa syarat:

1- Syarat materiil adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang

2- Syarat intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan

3- Adanya akibat hukum apabila kebiasaan dilanggar.

Di Indonesia kebiasaan diatur dalam beberapa Undang-Undang:

- Pasal 15 AB: "Selain pengecualian-pengecualian yang ditetapkan mengenai orang-orang Indonesia dan orang-orang yang dipersamakan, maka kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali apabila UU menetapkan demikian."

- Pasal 1339 KUH Perdata: "Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-Undamg."

- Pasal 1347 KUH Perdata: "Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan."

- Pasal 1571 KUH Perdata: "Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan telah dibuat."

- Pasal 22 AB: "Hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan Undang-Undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili."

- Pasal 14 UU No 14 Tahun 1970: "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya."

Kelemahan Hukum Kebiasaan:

a. Hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan sukar menggantinya.

b. Hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan dalam beracara karena kebiasaan sangat beraneka ragam.

Hubungan Hukum kebiasaan dan hukum adat:

Adat istiadat adalah peraturan-peraturan atau kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib. Pada umumnya adat istiadat bersifat sakral serta merupakan tradisi. Artinya; hukum adat termasuk bagian hukum kebiasaan, dan tidak semua adat merupakan hukum.

c. Traktat (treaty)

Traktat adalah perjanjian yang dibuat antarnegara yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Pasal 11 UUD menentukan: "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Perjanjian dengan negara lain yang dikehendaki dalam diktum pasal 11 UUD adalah perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional yang kekuatan hukumnya sama dengan UU. Mengingat secara prosedural perjanjian antarnegara dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Berdasarkan Surat Presiden no. 2826/HK/60 yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal 11 UUD adalah perjanjian yang terpenting saja, yang terkait dengan persoalan politik dan menyangkut hajat hidup orang banyak, lazimnya disebut dengan traktat.

Traktat atau perjanjian yang secara prosedural harus disampaikan pada DPR sebelum diratifikasi adalah perjanjian yang mengandung materi sebagai berikut:

1- Soal-soal politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri: perjanjian perbatasan wilayah (traktat bilateral Indonesia-Papua Nugini mengenai batas wilayah) , perjanjian persahabatan.

2- Ikatan yang mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian ekonomi dan teknis pinjaman uang.

3- Persoalan yang menurut sistem perundang-undangan harus diatur dengan Undang-Undang: kewarganegaraan dan soal kehakiman.

Adapun perjanjian yang lazim disebut agreement adalah perjanjian yang mengandung materi lain cukup disampaikan pada DPR sebatas untuk diketahui setelah diratifikasi oleh Presiden

Ketika sebuah perjanjian telah diratifikasi maka berlakulah apa yang dinamakan "pakta Servada" artinya perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Persoalannya apakah traktat itu secara langsung mengikat seluruh warga negara? Pendapat pertama, traktat tidak dapat secara langsung mengikat penduduk di suatu wilayah negara. Agar traktat dapat mengikat seluruh warga negara maka traktat harus terlebih dahulu dituangkan dalam hukum nasional. Pendapat yang dikemukakan Laband dan Telders (ahli Hukum Belanda) ini dinamakan teori inkorporasi. Adapun pendapat kedua, traktat mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang meratifikasi suatu perjanjian. Pendapat ini dianut oleh van Volenhoven, Hamaker dan dianut oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1906. Teori ini mengakui "Primat hukum antarnegara" yaitu mengakui hukum antarnegara lebih tinggi derajatnya dari hukum Nasional.

Proses Pembuatan traktat:

1. Perundingan isi perjanjian oleh para utusan pihak-pihak yang bersangkutan, hasil perundingan ini dinamakan konsep traktat (sluitings-oorkonde). Sidang perundingan biasanya melalui forum konferensi, kongres, muktamar, atu sidang-sidang lainnya.

2. Persetujuan masing-masing parlemen bagi negara yang memerlukan persetujuan dari parlemen.

3. Ratifikasi atau pengesahan oleh kepala negara, Raja, Presiden, atau Perdana Menteri dan diundangkan dalam lembaran negara.

4. Pertukaran piagam antar pihak yang mengadakan perjanjian, atau jika itu perjanjian multilateral piagam diarsip oleh salah satu negara berdasarkan kesepakatan atau diarsip di markas besar PBB.

­

d. Yurisprudensi

Yurisprudensi memiliki beberapa kandungan makna:

- Yurisprudentia (latin) = pengetahuan hukum.

- Yurisprudentie (Perancis) = peradilan.

- Jurisprudence (Inggris) = teori ilmu hukum.

Dari segi praktik peradilan Yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.

Sebuah putusan pengadilan pada dasarnya hanya mengikat para pihak yang bersengketa (psl 1917 BW) dan tidak mengikat setiap orang pada umumnya seperti UU. Putusan adalah hukum sejak dijatuhkan hingga dilaksanakan. Dan setelah dilaksanakan putusan pengadilan hanyalah merupakan sumber hukum.

Sebab-sebab seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain:

- Pertimbangan psikologis

- Pertimbangan praktis

- Memiliki pendapat yang sama

Arti Pentingnya Yurisprudensi menurut beberapa aliran hukum:

1- Aliran legisme adalah aliran yang mengangap UU adalah aturan yang sempurna sehingga segala persoalan hukum di masyarakat pada dasarnya sudah tertampung dalam UU. Adapun posisi hakim dalam memutuskan suatu perkara sebagai penyambung lidah dari UU. Hakim dalam melaksanakan tugas terikat pada UU sehingga yang ia lakukan adalah melakukan suatu upaya deduksi logis dari sebuah diktum UU. Artinya, menurut aliran legisme pengetahuan UU adalah primer sementara Yurisprudensi adalah sekunder.

2- Aliran Freie Rechtbewegung mengatakan bahwa mempelajari Yurisprudensi lebih penting daripada UU. Karena yurisprudens adalah wujud konkrit dari sebuah putusan hukum. Dan aliran ini memberikan kebebesan pada hakim untuk menciptakan hukum.

3- Aliran Rechtvinding adalah jalan tengah dari 2 aliran di atas. Menurutnya hakim memiliki kebebasan yang terikat untuk menyelaraskan UU dengan keadaan masyarakat dengan cara penafsiran jika peraturan tidak jelas atau mengkonstruksi hukum jika UU tidak mengaturnya.

Asas-Asas Yurisprudensi

1- Asas Presedent; Hakim terikat pada putusan yang lebih dulu dari hakim yang sama derajatnya atau hakim yang lebih tinggi. Asas ini dianut oleh negara-nega anglo-Saxon (Inggris- Amerika)

2- Asas Bebas: Hakim tidak terikat pada keputusan hakim terdahulu pada tingkatan sejajar atau yang lebih tinggi.

e. Doktrin

UU, perjanjian internasioanl dan Yurisprudensi adalah sumber hukum. Tidak mustahil sumber-sumber hukum ini tidak dapatmemberikan jawaban mengenai hukumnya, maka hukum dicari dari pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum.

Ilmu hukum bukanlah hukum, karena tidak memiliki kekuatan mengikat, namun ilmu hukum memiliki wibawa karena didukung oleh para ahli hukum (yuris) dan sebagai sebuah ilmu, ilmu hukum memiliki sifat obyektif. Selaras dengan sifat yang harus dimiliki sebuah hukum yakni wibawa dan obyektif.

Doktrin sebagai sumber hukum tampak jelas dalam hukum internasional. Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional pasal 38 (1) mengakui pendapat-pendapat ahli hukum sebagai pedoman dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu sengketa atau perselisihan. Dan di Indonesia khususnya dalam pengadilan Agama, pendapat para fukaha (ahli Hukum Islam) banyak digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA

a- R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. VIII, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

b- Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. VIII, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.

c- Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, cet. II, Yogyakarta: Liberty, 2005.

d- Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, Cet. IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

e- Riduan Syahrani, S.H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Cet. I, T.tp.: Pustaka Kartini, 1991.



[1] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 24-26. Kamus dan Ensiklopedi.

[2] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 26-38. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 35-38.

[3] Di sarikan dari Riduan Syahrani, S. H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, hlm. 27-28.

[4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 56-64. Riduan Syahrani, S. H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, hlm. 23-27. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, hlm. 77-81. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 40-45.

[5]R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 117-179, Riduan Syahrani, S. H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, hlm. 87-108. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, hlm. 82-120. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 46-51