Jumat, 01 Februari 2008

01- Pengertian hukum

Mata Kuliah : PIH/PTHI

Program Studi : Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah

Dosen : MUFLIHA WIJAYATI, M.SI.

BAB II

Pengertian Hukum

a. Etimologis[1]

1- Hukum

Terma hukum yang kita kenal berasal dari bahasa Arab ‘hukmu’ (mufrad) – ‘ahkam’ (jama') yang diderivasikan dari kata kerja ‘hakama-yahkumu-hukm yang berarti al-qadha` bi al-'adl, yakni memutuskan perkara dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim, dan bentuk jamaknya adalah al-hukkam.

2- Recht

Recht berasal dari kata rectum (latin) yang berarti bimbingan, tuntutan, atau pemerintahan. Di samping itu dikenal juga terma ‘rex’ yaitu orang yang memberi bimbingan atau arahan. Rex juga bisa dimaknai Raja.

Terma recht yang bermakna bimbingan atau perintah selalu meniscayakan adanya kewibawaan, dan kewibawaan berkaitan dengan ketaatan. Artinya sebuah perintah atau arahan cenderung akan ditaati ketika memiliki kewibawaan. Dalam bahasa Belanda derivasi dari terma recht memiliki makna keadilan, artinya hukum juga memiliki kaitan dengan keadilan.

Dengan demikian Recht diartikan sebagai arahan atau perintah yang memiliki unsur kewibawaan dan keadilan.

3- Ius

Terma Ius berasal dari bahasa Latin ‘Iubere’ yang berarti mengatur atau memerintah. Mengatur dan memerintah berpangkal pada kewibawaan. Di sisi lain Ius berkaitan erat dengan ‘Iustitia’ atau keadilan. Dalam legenda Yunani Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan dengan seorang wanita yang tertutup matanya, tangan kiri memegang neraca dan tangan kanan memegang pedang. Makna dari lambang ini adalah:

- Kedua mata tertutup, dalam mencari keadilan tidak boleh membedakan antara si kaya dan si miskin, pejabat atau bukan pejabat, dan lain sebagainya.

- Neraca melambangkan keadilan.

- Pedang melambangkan keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum yang tegas.

4- Lex

Lex berasal dari bahasa Latin ‘lesere’ yang berarti mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Terma ini memuat adanya unsur otoritas atau wibawa.

ð Berdasarkan uraian di atas, maka hukum akan memuat unsur-unsur keadilan, kewibawaan, ketaatan, peraturan yang berujung pada keteraturan dan kedamaian.

b. Terminologi Para Sarjana Hukum.[2]

Mendefinisikan hukum dengan definisi yang dapat mewakili hukum yang sebenarnya dalam satu definisi adalah sangat sulit. Karena hukum merasuk dalam setiap lini kehidupan masyarakat, memiliki banyak bentuk (multifaces), dan sangat kompleks. Para Yuris pun menawarkan definisi dengan berbagai perspektif yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing Yuris.

-1- Prof. Dr. van Kan. (Juris dari Belanda)

Menurutnya hukum adalah "keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat".

-2- Prof. Mr. E. M. Meyers.

Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya."

-3- Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldoorn. (Juris Belanda)

Ia membedakan pengertian hukum berdasarkan 2 sudut pandang:

- Hukum menurut kalangan terpelajar adalah rentetan pasal demi pasal yang termuat dalam aturan atau perundang-uandangan.

- Hukum menurut orang awam (the man in the street) ketika mendengar istilah hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa, pengadilan, hakim, dan aparat penegak hukum lainnya.

-4- Prof. Paul Scholten.

Sarjana hukum asal Belanda ini memandang hukum berdasarkan kepentingan individual (perorangan) dan sosial (masyarakat). Dia tidak memberikan tawaran definisi tunggal mengenai hukum, namun ia memberikan batasan bahwa, "Recht is bevel, Recht is verlof, Recht is belofte, Recht is depositie".

-5- Dr. E. Utrecht, SH.

Utrecht memberikan tawaran definisi hukum sekedar untuk pegangan dan memudahkan pemahaman bagi penjelajah hukum dan bukan sebagai definisi baku. "Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu."

-6- S. M. Amin, SH.

"Kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara."

-7- J. C. T. Simorangkir.

"Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi bereakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu."

* Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hukum terkandung unsur-unsur:

- Peraturan mengenai tingkah laku manusia

- Dibuat atau diciptakan oleh otoritas yang berwenang

- Bersifat memaksa agar ditaati

- Bertujuan mengatur tata tertib kehidupan

- Sanksi terhadap pelanggaran

Fungsi dan Tujuan Hukum (Teori Etis, Utilitis, dan Campuran)

à Fungsi Hukum[3]

Di mana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum ada pada setiap masyarakat, kapan pun, di manapun, dan bagaimanapun keadaan masyarakat tersebut. Artinya eksistensi hukum bersifat sangat universal, terlepas dari keadaan hukum itu sendiri sangat dipengaruhi oleh corak dan warna masyarakatnya (hukum juga memiliki sifat khas, tergantung dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam sebuah komunitas).

Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum, terdapat dua paham mengenai fungsi dan peran hukum dalam masyarakat:

Pertama, mengatakan bahwa fungsi hukum adalah mengikuti dan mengabsahkan (justifikasi) perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, artinya hukum sebagai sarana pengendali sosial. Maka yang tampak, hukum bertugas mempertahankan ketertiban atau pola kehidupan yang ada. Paham ini dipelopori ahli hukum mazhab sejarah dan kebudayaan dari Jerman yang diintrodusir oleh Friedrich Carl von Savigny (1799-1861).

Kedua, menyatakan hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham ini dipelopori oleh ahli hukum dari Inggris, Jeremy Bentham (1748-1852), untuk kemudian dipopulerkan oleh Juris Amerika dengan konsepsi "hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat" (law as a tool of social engineering).

à Tujuan Hukum[4]

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan sosial, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan individu dan masyarakat dapat terlindungi. Dalam beberapa literatur Ilmu Hukum para sarjana hukum telah merumuskan tujuan hukum dari berbagai sudut pandang, dan paling tidak ada 3 teori:

1- Teori etis

Teori etis pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya ethica dan Rhetorika, yang menyatakan bahwa hukum memiliki tujuan suci memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut teori ini hukum semata-mata bertujuan demi keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan etis kita mana yang adil dan mana yang tidak. Artinya hukum menurut teori ini bertujuan mewujudkan keadilan.

Mengenai isi keadilan, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan; justitia distributive (keadilan distributif) dan justitia commulative (keadilan komuliatif). Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang berdasarkan jasa atau haknya masing-masing. Makna keadilan bukanlah persamaan melainkan perbandingan secara proposional. Adapun keadilan kumulatif adalah keadilan yang diberikan kepada setiap orang berdasarkan kesamaan. Keadilan terwujud ketika setiap orang diperlakukan sama.

2- Teori Utilitis

Menurut teori ini hukum bertujuan untuk menghasilkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya pada manusia dalam mewujudkan kesenangan dan kebahagiaan. Penganut teori ini adalah Jeremy Bentham dalam bukunya "Introduction to the morals and legislation". Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan aspek keadilan.

3- Teori Campuran

Menurut Apeldoorn tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat pokok (fundamental) bagi adanya masyarakat yang teratur dan damai. Dan untuk mewujudkan kedamaian masyarakat maka harus diciptakan kondisi masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan satu dengan yang lain, dan setiap orang (sedapat mungkin) harus memperoleh apa yang menjadi haknya. Dengan demikian pendapat ini dikatakan sebagai jalan tengah antara teori etis dan utilitis.

Sumber-Sumber Hukum[5]

A. Arti tentang Sumber Hukum

Terma sumber hukum dalam kajian ilmu hukum sering kali dipergunakan dalam berbagai pengertian. Oleh karena itu, ketika membincang persoalan sumber hukum maka harus ditegaskan terlebih dahulu dalam kerangka apa sumber hukum itu kita bincangkan.

1- Sumber hukum dalam pengertian asal hukum, yaitu: Keputusan otoritas yang berwenang mengenai sebuah keputusan hukum, bisa berupa peraturan atau ketetapan. Pengertian ini membawa pada suatu penyelidikan tentang kewenangan.

2- Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukannya peraturan hukum. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa pada satu penyelidikan tentang maca, jenis, atau bentuk-bentuk dari peraturan. Misalnya: apakah sumber hukum tersebut Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau bentuk yang lainnya.

3- Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya: Keyakinan hukum, rasa keadilan baik dari penguasa atau rakyat, dan juga teori-teori atau ajaran dari ilmu Pengetahuan hukum. Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan hukum meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya, maupun ekonomi.

Di samping ketiga makna sumber hukum di atas, terdapat juga kategori sumber hukum lain, yakni;

1- sumber hukum material adalah faktor yang membantu penentuan/pembentukan hukum. Sumber hukum ini dapat ditinjau dari berbagai aspek.

Misalnya: seorang sosiolog akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa sebagai hasil interaksi dalam masyarakat. Namun seorang ekonom akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat meniscayakan adanya hukum. Lain halnya dengan seorang ahli agama, ia akan mengatakan bahwa sumber hukum adalah kitab suci dan sumber ajaran agama yang lain.

2- Sumber hukum formal adalah tempat atau sumber di mana hukum positif dapat ditemukan. Dari segi bentuk berupa Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, dan doktrin.

a. Undang-Undang

"Undang-Undang" sering digunakan dalam 2 pengertian, yaitu Undang-Undang dalam arti formal dan Undang-Undang dalam arti material.

UU dalam arti formal adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari bentuk dan cara pembuatannya disebut UU. Dilihat dari bentuknya, UU berisi konsideran dan diktum (amar putusan). Sementara dari cara pembuatannya, UU adalah keputusan atau ketetapan produk lembaga yang berwenang. Di Indonesia lembaga yang berwenang adalah Presiden dan DPR (UUDS 1950 psl 89, UUD 1945 psl 5 (1) jo. psl 20 (1), sementara di Amerika lembaga yang berwenang adalah Congress.

UU dalam arti material adalah keputusan atau ketetapan yang dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat setiap orang secara umum. Dalam pengertian ini yang menjadi perhatian adalah isi peraturan yang sifatnya mengikat tanpa mempersoalkan segi bentuk atau siapa pembentuknya. UU dalam arti material sering juga disebut dengan peraturan (regeling) dalam arti luas.

=> UU dalam arti formal tidak dengan sendirinya sebagai UU dalam arti material. Demikian sebaliknya.

Syarat mutlak berlakunya suatu Undang-Undang ialah ketika telah diundangkan dalam lembaran negara (LN) oleh Menteri/Sekertaris negara, sejak tanggal yang ditentukan sendiri dalam Undang-Undang (pada saat diundangkan, pada tanggal tertentu, ditentukan berlaku surut, atau berlakunya akan ditentukan kemudian hari dengan peraturan lain), atau jika tidak dicantumkan maka, Undang-Undang berlaku 30 hari setelah diundangkan.

Adapun masa berlakunya Undang-undang berakhir, karena; ditentukan oleh Undang-Undang sendiri, dicabut secara tegas, Undang-Undang lama bertentangan dengan Undang-Undang baru, atau timbulnya hukum kebiasaan yang bertentangan dengan Undang-Undang atau Undang-Undang tidak ditaati lagi.

Asas berlakunya suatu Undang-Undang:

* Undang-Undang yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superior derogat legi in feriori).

* Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, apabila Undang-undang tersebut kedudukannya sama. (lex speciales derogat legi generali).

* Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang terdahulu, sejauh Undang-Undang tersebut mengatur hal yang sama (lex posterior derogat legi priori).

* Undang-Undang yang telah diundangkan dianggap telah diketahui oleh setiap orang.

Hierarki perundang-undangan

Undang-Undang dalam arti material memiliki tata urutan peraturan sesuai dengan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. No. V/MPR/1973 :

- UUD 1945

- Ketetapan MPR

- UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

- Peraturan Pemerintah

- Keputusan Presiden

- Peraturan Pelaksana lainnya, seperti peraturan menteri atau instruksi menteri.

b. Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, dan normal di dalam suatu masyarakat atau komunitas hidup tertentu.

Sebagai sebuah prilaku yang tetap (ajeg) kebiasaan merupakan prilaku yang selalu berulang hingga melahirkan satu keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu patut dilakukan dan memiliki kekuatan normatif yang mengikat.

Tidak semua kebiasaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan yang dapat menjadi sumber hukum meniscayakan beberapa syarat:

1- Syarat materiil adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang

2- Syarat intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan

3- Adanya akibat hukum apabila kebiasaan dilanggar.

Di Indonesia kebiasaan diatur dalam beberapa Undang-Undang:

- Pasal 15 AB: "Selain pengecualian-pengecualian yang ditetapkan mengenai orang-orang Indonesia dan orang-orang yang dipersamakan, maka kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali apabila UU menetapkan demikian."

- Pasal 1339 KUH Perdata: "Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-Undamg."

- Pasal 1347 KUH Perdata: "Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan."

- Pasal 1571 KUH Perdata: "Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan telah dibuat."

- Pasal 22 AB: "Hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan Undang-Undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili."

- Pasal 14 UU No 14 Tahun 1970: "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya."

Kelemahan Hukum Kebiasaan:

a. Hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan sukar menggantinya.

b. Hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan dalam beracara karena kebiasaan sangat beraneka ragam.

Hubungan Hukum kebiasaan dan hukum adat:

Adat istiadat adalah peraturan-peraturan atau kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib. Pada umumnya adat istiadat bersifat sakral serta merupakan tradisi. Artinya; hukum adat termasuk bagian hukum kebiasaan, dan tidak semua adat merupakan hukum.

c. Traktat (treaty)

Traktat adalah perjanjian yang dibuat antarnegara yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Pasal 11 UUD menentukan: "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain." Perjanjian dengan negara lain yang dikehendaki dalam diktum pasal 11 UUD adalah perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional yang kekuatan hukumnya sama dengan UU. Mengingat secara prosedural perjanjian antarnegara dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Berdasarkan Surat Presiden no. 2826/HK/60 yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal 11 UUD adalah perjanjian yang terpenting saja, yang terkait dengan persoalan politik dan menyangkut hajat hidup orang banyak, lazimnya disebut dengan traktat.

Traktat atau perjanjian yang secara prosedural harus disampaikan pada DPR sebelum diratifikasi adalah perjanjian yang mengandung materi sebagai berikut:

1- Soal-soal politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri: perjanjian perbatasan wilayah (traktat bilateral Indonesia-Papua Nugini mengenai batas wilayah) , perjanjian persahabatan.

2- Ikatan yang mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti perjanjian ekonomi dan teknis pinjaman uang.

3- Persoalan yang menurut sistem perundang-undangan harus diatur dengan Undang-Undang: kewarganegaraan dan soal kehakiman.

Adapun perjanjian yang lazim disebut agreement adalah perjanjian yang mengandung materi lain cukup disampaikan pada DPR sebatas untuk diketahui setelah diratifikasi oleh Presiden

Ketika sebuah perjanjian telah diratifikasi maka berlakulah apa yang dinamakan "pakta Servada" artinya perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Persoalannya apakah traktat itu secara langsung mengikat seluruh warga negara? Pendapat pertama, traktat tidak dapat secara langsung mengikat penduduk di suatu wilayah negara. Agar traktat dapat mengikat seluruh warga negara maka traktat harus terlebih dahulu dituangkan dalam hukum nasional. Pendapat yang dikemukakan Laband dan Telders (ahli Hukum Belanda) ini dinamakan teori inkorporasi. Adapun pendapat kedua, traktat mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang meratifikasi suatu perjanjian. Pendapat ini dianut oleh van Volenhoven, Hamaker dan dianut oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1906. Teori ini mengakui "Primat hukum antarnegara" yaitu mengakui hukum antarnegara lebih tinggi derajatnya dari hukum Nasional.

Proses Pembuatan traktat:

1. Perundingan isi perjanjian oleh para utusan pihak-pihak yang bersangkutan, hasil perundingan ini dinamakan konsep traktat (sluitings-oorkonde). Sidang perundingan biasanya melalui forum konferensi, kongres, muktamar, atu sidang-sidang lainnya.

2. Persetujuan masing-masing parlemen bagi negara yang memerlukan persetujuan dari parlemen.

3. Ratifikasi atau pengesahan oleh kepala negara, Raja, Presiden, atau Perdana Menteri dan diundangkan dalam lembaran negara.

4. Pertukaran piagam antar pihak yang mengadakan perjanjian, atau jika itu perjanjian multilateral piagam diarsip oleh salah satu negara berdasarkan kesepakatan atau diarsip di markas besar PBB.

­

d. Yurisprudensi

Yurisprudensi memiliki beberapa kandungan makna:

- Yurisprudentia (latin) = pengetahuan hukum.

- Yurisprudentie (Perancis) = peradilan.

- Jurisprudence (Inggris) = teori ilmu hukum.

Dari segi praktik peradilan Yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.

Sebuah putusan pengadilan pada dasarnya hanya mengikat para pihak yang bersengketa (psl 1917 BW) dan tidak mengikat setiap orang pada umumnya seperti UU. Putusan adalah hukum sejak dijatuhkan hingga dilaksanakan. Dan setelah dilaksanakan putusan pengadilan hanyalah merupakan sumber hukum.

Sebab-sebab seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain:

- Pertimbangan psikologis

- Pertimbangan praktis

- Memiliki pendapat yang sama

Arti Pentingnya Yurisprudensi menurut beberapa aliran hukum:

1- Aliran legisme adalah aliran yang mengangap UU adalah aturan yang sempurna sehingga segala persoalan hukum di masyarakat pada dasarnya sudah tertampung dalam UU. Adapun posisi hakim dalam memutuskan suatu perkara sebagai penyambung lidah dari UU. Hakim dalam melaksanakan tugas terikat pada UU sehingga yang ia lakukan adalah melakukan suatu upaya deduksi logis dari sebuah diktum UU. Artinya, menurut aliran legisme pengetahuan UU adalah primer sementara Yurisprudensi adalah sekunder.

2- Aliran Freie Rechtbewegung mengatakan bahwa mempelajari Yurisprudensi lebih penting daripada UU. Karena yurisprudens adalah wujud konkrit dari sebuah putusan hukum. Dan aliran ini memberikan kebebesan pada hakim untuk menciptakan hukum.

3- Aliran Rechtvinding adalah jalan tengah dari 2 aliran di atas. Menurutnya hakim memiliki kebebasan yang terikat untuk menyelaraskan UU dengan keadaan masyarakat dengan cara penafsiran jika peraturan tidak jelas atau mengkonstruksi hukum jika UU tidak mengaturnya.

Asas-Asas Yurisprudensi

1- Asas Presedent; Hakim terikat pada putusan yang lebih dulu dari hakim yang sama derajatnya atau hakim yang lebih tinggi. Asas ini dianut oleh negara-nega anglo-Saxon (Inggris- Amerika)

2- Asas Bebas: Hakim tidak terikat pada keputusan hakim terdahulu pada tingkatan sejajar atau yang lebih tinggi.

e. Doktrin

UU, perjanjian internasioanl dan Yurisprudensi adalah sumber hukum. Tidak mustahil sumber-sumber hukum ini tidak dapatmemberikan jawaban mengenai hukumnya, maka hukum dicari dari pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum.

Ilmu hukum bukanlah hukum, karena tidak memiliki kekuatan mengikat, namun ilmu hukum memiliki wibawa karena didukung oleh para ahli hukum (yuris) dan sebagai sebuah ilmu, ilmu hukum memiliki sifat obyektif. Selaras dengan sifat yang harus dimiliki sebuah hukum yakni wibawa dan obyektif.

Doktrin sebagai sumber hukum tampak jelas dalam hukum internasional. Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional pasal 38 (1) mengakui pendapat-pendapat ahli hukum sebagai pedoman dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu sengketa atau perselisihan. Dan di Indonesia khususnya dalam pengadilan Agama, pendapat para fukaha (ahli Hukum Islam) banyak digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA

a- R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. VIII, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

b- Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. VIII, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.

c- Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, cet. II, Yogyakarta: Liberty, 2005.

d- Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, Cet. IV, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

e- Riduan Syahrani, S.H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Cet. I, T.tp.: Pustaka Kartini, 1991.



[1] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm. 24-26. Kamus dan Ensiklopedi.

[2] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 26-38. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 35-38.

[3] Di sarikan dari Riduan Syahrani, S. H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, hlm. 27-28.

[4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 56-64. Riduan Syahrani, S. H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, hlm. 23-27. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, hlm. 77-81. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 40-45.

[5]R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, hlm 117-179, Riduan Syahrani, S. H., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, hlm. 87-108. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, hlm. 82-120. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 46-51

Tidak ada komentar: